Rabu, 09 Juni 2010

Senjata, Kriminal, dan Kematian di Afsel

Cerita seram soal Afrika Selatan memang tak ada habisnya. Sejak Apartheid diakhiri pada 1994, persoalan rasial memang menurun. Namun, kriminalitas meningkat tajam dan kepemilikan senjata merebak. Kematian akibat kekerasan pun makin banyak.

Dalam sehari, rata-rata ada 50 korban pembunuhan. Angka pembunuhan di Afsel sempat tertinggi di dunia. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi memang mendukung. Selain itu, peraturan juga terlalu lunak sehingga orang begitu mudah melakukan kekerasan.

Di Afsel, setiap orang jadi begitu mudah memiliki senjata. Setiap orang yang punya KTP boleh beli senjata cukup dengan regristrasi. Regristrasi ini pun sangat mudah. Selain itu, banyak senjata ilegal yang beredar luas.

"Di sini banyak yang punya AK47. Senjata-senjata itu diselundupkan dari negara tetangga. Maklum, Afsel dikelilingi negara yang bergejolak. Tak heran, penjahat sering bersenjata AK47," papar Jaka Jussac, orang Indonesia yang lama tinggal di Pretoria.

Sementara itu, peluang kerja makin sempit sehingga banyak orang yang memilih jalan pintas. Akibatnya, banyak muncul geng kriminal dengan senjata api. Seramnya, penjahat Afsel suka membunuh korbannya. Ini dilakukan demi menghilangkan saksi.

"Makanya, hati-hati kalau di sini. Jangan terlalu menonjolkan barang berharga. Penjahat tak segan merebut barangnya, sekaligus menghabisi nyawanya," ungkap Dedi Jayadiputra, pejabat fungsi Penerangan Sosial Budaya (Pensosbud) KBRI di Pretoria.

Saat ini, di kota sering terlihat orang membawa pistol. Kadang, senjata itu terlihat menonjol di balik bajunya. Kejahatan sering terjadi di tempat sepi, di perempatan, atau di kegelapan. Terkadang ada yang nekat melakukan kejahatan di tempat ramai.

Pada Senin (7/6/2010), polisi menangkap lima penjahat bersenjata. Mereka menyerang mobil agen keamanan, G4S, yang sedang mengumpulkan uang. (*)

Tidak ada komentar: